Selasa, 08 Desember 2015

Sejarah Kota Bantul

                                                      INDAHNYA KOTA BANTUL

SEJARAH

         Berawal dari Kisah Seorang Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir, bukan nama asing dalam sejarah Mataram. Di mata Mataram, Mangir dikenal sebagai tokoh pemberontak karena dituduh ingin melepaskan diri dari Mataram. Dia mati di tangan Panembahan Senopati yang sebenarnya merupakan mertuanya sendiri. Panembahan Senopati mengatur skenario dengan menjebak Ki Ageng Mangir dengan mengirimkan Pembayun, putrinya untuk memikat Mangir dengan cara menyamar sebagai penari tayub.
Strateginya berhasil dan kemudian dia meminta Ki Ageng Mangir untuk mau datang menghadap ayahandanya. Namun saat menghadap dan sujud di depan Panembahan Senopati, kepalanya dibenturkan ke batu gilang tempat duduk sang raja.
       Siapa sebenarnya Ki Ageng Mangir tidak ada catatan yang jelas. Dalam Babad Mangir disebutkan setidaknya ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Trah Mangir ini dalam babad diceritakan berasal dari Brawijaya V yang berputra Radyan Alembumisani. Alembumisani ini melarikan diri dari Majapahit ke arah barat bersama istrinya. Kemudian dia mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Alembumisani meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I). Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Dalam cerita tutur dikenal Rara Jalegong melahirkan anak yang berupa naga yang diber nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
       Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Namun senjata ini tidak dibawa menghadap Panembahan Senopati karena syarat menghadap raja semua senjata harus dilepas.
      Dusun Mangir sekarang terbagi atas tiga wilayah, yakni Dusun Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir Kidul. Lokasi ini terletak kira-kira 20 kilometer dari Kota Jogja. Secara administratif dusun ini masuk dalam wilayah Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Peninggalan yang masih ada di daerah ini antara lain batu persegi dengan ukuran 1×1 meter yang dipercaya sebagai tempat duduk Ki Ageng Mangir, arca lembu (kendaraan Dewa Siwa) dan beberapa fragmen arca.
      Selain itu ada beberapa peninggalan lain yang cukup tersebar di Dusun Mangir, yakni berupa onggokan batu bata dalam ukuran lebih besar dari rata-rata ukuran batu bata di zaman sekarang, onggokan batu bata yang hampir tersebar di seluruh Dusun Mangir ini diperkirakan merupakan sisa-sisa bangunan keraton Ki Ageng Mangir di masa lalu. (ZUH/Harian Jogja)
      Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, karena banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta
Menurut Sejarah yang ditulis di Wikipedia
      Pemerintah Hindia Belanda dan sultan Yogyakarta pada tanggal 26 dan 31 Maret 1831 mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 1831 atau Rabu Kliwon 10 Sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya dikenal bernama Bantulkarang tersebut di atas. Seorang nayaka Kasultanan Yogyakarta bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku jabatan sebagai bupati Bantul.
       Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasar pada Usamu Seirei nomor 13 sedangkan ‘stadsgemente ordonantie’ dihapus. Kabupaten memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri (otonom). Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Akan tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948 dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang berisi tentang pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar